Dulu saat kuliah
S1, mungkin aku satu diantara sekumpulan anak muda yang terdepan soal komplain
terhadap pemerintah. Rasanya kebijakannya yang dibuat salah sasaran, kerjanya
lamban dan banyak makan gaji buta. Kalau soal kritik nomor satu, padahal pas
ditanya solusi memperbaikinya mungkin belum kepikiran. Kalaupun kepikiran,
solusi yang ditawarkan kadang terlalu ekstrim sehingga tidak bisa
diaplikasikan. Patokannya hanya idealisme dan ke-sok pintar-an ku sebagai
akademisi cumlaude. Aku sempat apatis terhadap pemerintah dan bertekad tidak mau
masuk ke dalam pemerintahan.
Saat kuliah S2,
aku mengambil topik disertasi tentang pekerjaan bagi penyandang disabilitas di
Indonesia. Topik yang mungkin tidak se-greget pembangunan infrastruktur yang
memang menjadi prioritas pemerintah. Keterbatasan informasi mengharuskanku
untuk kembali ke tanah air dan mengambil data di dua Kementerian. Sebetulnya
aku malas berurusan dengan birokrasi karena bikin janji wawancara dengan para
Eselon itu sering tentatif dan kadang jawaban mereka tidak substantif. Tapi setelah
proses ini kulewati, aku makin sadar tak baik menggeneralisir kerja pemerintah
hanya karena kecewa terhadap oknum atau satu instansi.
Sembari
mengerjakan disertasi, karena jurusanku adalah Policy into Practice, aku
diharuskan untuk mengambil magang selama 20 minggu. Kala itu aku bertugas di
Birmingham City Council, gampangnya mungkin seperti Pemda DKI kalau di sini.
Pengalaman itu membuatku sadar bahwa ketika ingin mengubah kondisi, tak cukup
hanya dengan komplain.
“Ibaratnya bermaksud memaksa kura-kura berjalan lebih cepat dengan sibuk memukul tempurungnya, alangkah lebih baik kita kelitik dia dari dalam.”
Dengan kecerdasan
kita, mungkin tak sulit untuk merancang substansi. Yang tersulit adalah
bagaimana meyakinkan instansi untuk ‘mau’ melakukannya. Resmi menyandang gelar
Master bagiku adalah peningkatan kapasitas sekaligus kontribusi. Sekembalinya
aku ke Jakarta, aku pun mantap hati membantu sebuah Kementerian sebagai Tenaga
Ahli Isu Disabilitas.
Setelah
berbulan-bulan aktif berkoordinasi dengan teman-teman Penyandang Disabilitas
juga mengawal Kementerian/Lembaga (K/L) dalam penyusunan 7 Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) sebagai mandat dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, aku cukup kaget membaca berita di koran Kompas pagi ini. Judulnya, "Tujuh Peraturan Pemerintah Mangkrak". Aku tahu kemarin
siang ada Konferensi Pers terkait 7 RPP ini, sayangnya aku tidak bisa berhadir
karena ada agenda lain. Seandainya ada pertanyaan wartawan yang menukik soal
upaya pemerintah dalam mendorong percepatan penyusunan RPP ini, mungkin aku
bisa rinci sebagaimana aku sering terlibat dalam prosesnya. Tapi, sekalipun tak
berhadir, ada bahan terkait progres yang sudah kami koordinasikan. Harapan kami ini cukup memberi gambaran bagi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan pemerintah.
Kesal, sedih,
letih. Ah, semuanya campur aduk. Bukan karena aku perwakilan pemerintah dan
merasa terpojok, tapi karena aku cukup tahu bagaimana blusukannya Kantor Staf
Presiden untuk membuat K/L bersedia mengemban tanggung jawab menyusun RPP dan
bagaimana usaha Bappenas untuk memfasilitasi OPD dalam setiap rapat penyusunan.
Pun secara pribadi, beberapa bulan ini aku menjadi orang yang super cerewet
untuk mengontak K/L hingga Kemenko untuk terus bertanya progres mereka dan apa
yang bisa kami support. Semua dilakukan bukan cuma karena deadline tapi memang kami peduli.
Sesering itu
kerja bersama, segampang itu mengontak kami saat dibutuhkan namun sesingkat itu
berkata tak dilibatkan. Apa daya, sudah tertulis. Sebagai penutup, aku
hanya ingin bilang bahwa masing-masing kita sudah punya ‘bagian’. DPO mendukung
lewat substansi, pemerintah mengatur legalisasi. Mungkin tidak semua hal dalam
pemerintahan bisa diintervensi, mungkin sekali dua kali tak dilibatkan dalam
rapat, tapi tak berarti nihil progres. Prosesnya memang tidak mudah, banyak
jalur birokrasi yang harus dilewati tapi percayalah masih banyak orang-orang di
dalam pemerintahan yang berkomitmen bahkan segitu gregetnya
mencari berbagai cara untuk memastikan proses ini berjalan lebih cepat. Salah
satunya adalah Ibu Direkturku sendiri.
Di Meja Kerja
Kantor, 14.44 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar